Diskripsi

Cakepung adalah salah satu bentuk kesenian teater bertutur yang memiliki unsur-unsur lengkap sebagai perpaduan dari seni musik, vokal, tari, sastra dan teater. Kesenian Cakepung biasanya menampilkan lakon yang diadopsi dari ceritera rakyat seperti lakon Panji. Kesenian Cakepung merupakan hasil akulturasi budaya yang tidak terlepas dari hubungan dan kontak budaya yang berlanjut di masa lampau antara Karangasem dengan Lombok. Pada awalnya Cakepung muncul di Lombok dengan sebutan Cepung yang selanjutnya mengalami proses pengintegrasian. Hal ini dapat dilihat salah satunya dari penyajian tembang yang didominasi oleh alunan tembang sesasakan namun tata caranya masih kental menunjukkan pengaruh dari sistem mabebasan pada tradisi Bali. Sehingga Cakepung di Bali dapat dikatakan disebabkan oleh adanya kontak budaya melalui penaklukan Lombok oleh Bali dan terjadinya perpindahan penduduk yang menyebabkan kontak budaya berlanjut dalam kurun waktu yang relative lama.

Terkait penamaan sampai saat ini belum ada sumber pasti yang menyebutkan namun dari beberapa informasi dapat disampaikan bahwa Cakepung berasal dari peniruan suara gamelan cak…pung, cak…pung yang kemudian mendapat tambahan huruf e menjadi cakepung. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Cakepung berasal dari kata jagkepung yang berarti kejar terus yang dianalogikan dengan ungkapan-ungkapan dalam situasi perang seperti celekik (menikam), seruit (memberi), seriung (menghunus keris) dan jemak saup sangkol ajak mulih yang sering dilontarkan pemain dalam pertunjukkan.

Akulturasi ini berlangsung pada akhir abad ke XVII dimana Kerajaan Karangasem berhasil menaklukkan Kerajaan Selaparang di Lombok Timur dan Kerajaan Pejanggik di Lombok Tengah. Raja Karangasem yang berkuasa di Lombok ingin membawa seni Sasakan atau Cepung ke Karangasem sehingga beliau mengajak seniman Karangasem yang berasal dari Budhakeling sebanyak 3 (tiga) orang berangkat ke Lombok untuk mempelajarinya dan selanjutnya mengajarkan kepada generasi-generasi penerusnya. Dari informasi tersebut dikatakan bahwa Cakepung sudah berkembang di Karangasem dan di Desa Budhakeling khususnya sekitar tahun 1920-an dimana diajarkan oleh Tokoh Cakepung bernama Ida Wayan Tangi yang mengajarkan tembang-tembang sesasakan, dikembangkan dengan beberapa lagu pengecek, kemudian cara-cara bernyanyi yang disesuaikan dengan gerak-gerak dalam menirukan pola-pola permainan instrument gamelan, sementara yang lain mengisi dengan gerak-gerak tari yang diselipkan secara improvisasi. Selain itu beliau juga menciptakan lagu-lagu Cakepung Umbara, Semarandana dan Baris Kupu-kupu. Sejak itu Sekaa Cakepung di Desa Budhakeling ini mulai termotivasi untuk berkembang.

Perkembangan Cakepung berikutnya sejak periode tahun 30-an sangat adaptif dengan kondisi sosial di lingkungan sekitarnya. Pembaruan-pembaruan terus diupayakan namun tidak meninggalkan ciri khas yang menjadi frame Cakepung. Ada upaya-upaya pengolahan dan pengembangan terhadap bentuk yang disesuaikan dengan cita rasa dan nilai-niai budaya yang berkembang di Bali. Pengolahan tersebut meliputi seleksi, pengurangan dan penambahan dari unsur-unsur seni tertentu. Dengan demikian Cepung Lombok yang dikembangkan di Bali setelah mengalami rentang waktu yang cukup panjang, mengalami perkembangan dan perubahan dengan pola garapan melalui strategi adaptasi dan inovasi sehingga agak berbeda dengan Cepung aslinya di Lombok.

Namun kesenian Cakepung ini sempat mengalami keterpurukan setelah beberapa tokohnya sudah tidak ada, hampir ditinggalkan oleh generasi berikutnya yang beralih kepada kesenian modern lainnya dikarenakan Cakepung memiliki tingkat kesulitan yang tinggi untuk dipelajari yakni aturan-aturan main yang cukup rumit pemakaian Bahasa Sasak. Disamping itu kebutuhan masyarakat yang lebih menginginkan hiburan yang bersifat ringan mudah dicerna tanpa harus berimajinasi dan penghayatan dalam menikmatinya pun menjadi kendala yang mengurangi minat akan kesenian ini. Namun beberapa tahun belakangan dengan motivasi dari Ida Wayan Oka Adnyana serta para seniman lainnya di Desa Budhakeling Cakepung ini kembali bangkit bahkan tetap eksis tampil di setiap event budaya. Generasi ini membuat terobosan-terobosan baru untuk menjadikan Cakepung lebih bisa di nikamti semua kalangan salah satunya dengan menambahkan unsur dramatari dalam penyajiannya disamping vokal sebagai unsur utamanya. Disamping itu mulai dipadu padankan dengan beberapa alat musik lain untuk menambah semarak pertunjukkan seperti alat musik penting. Sehingga saat ini terdapat Sekaa Cakepung Citta Wistara di Desa Budhakeling yang tetap melestarikan seni warisan ini meskipun sudah mengalami perubahan dalam penampilan yang membedakan dengan Cepung aslinya namun nuansa dan nafas Cakepung masih tetap dijaga.

Dokumentasi Foto