Dokumen Video

Diskripsi

Masyarakat di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali mayoritas penduduknya beragama Hindu, dengan konsep memuja dewata sebagai manifestasinya Tuhan Yang Maha Esa. Selain tiu kepercayan hindu di bali telah menyatu erat dengan sistem adat bali yang di atur dalam unit pemerintahan adat yang disebut desa pakraman. Perpaduan adat dan agama tersebut mendasari kebiasan hidup masyarakat karangasem bahkan dalam tradisi makan bersama yang disebut dengan megibung atau mekembulan. Disebut Mekembulan karena masyarakat dibentuk menjadi satu yang dilandasi oleh makanan sebagai pokok utama. Awal Kemunculan tradisi megibung disampaikan dalam beberapa versi. Namun dalam salah satu versi dinyatakan, bahwa tradisi megibung mulai dilaksanakan pada saat jaman kerajaan karangasem ketika menjalani masa perang dengan Lombok oleh Raja Karangasem, yakni I Gusti Anglurah Ketut. Megibung pada masa itu digunakan sebagai cara menghitung jumlah pasukan dan mengetahui korban peperangan.

Dalam konteks kehidupan sosial masyarakat, megibung tidak hanya cukup dimaknai dari proses makan bersama, namun telah mengandung cerminan ikatan bekerja sama atau gotong royong antara orang yang menjamu dan masyarakat lainnya. Ini dapat dilihat dari prosesi pengerjaan sarana megibung yang disebut dengan istilah “karangan”. Karangan tersebut merupakan beberapa menu makanan yang disajikan disebut olahan. Olahan didasari dua unsur warna merah dan putih, yang melambangkan wanita dan pria.  perkembangan olahan selanjutnya disesuaikan dengan potensi masyakat di wilayah kabupaten karangasem, dengan ragam jenis, nama dan bahan.  Selanjutnya olahan dirangkain berdasarkan tata letak dewata nawa sanga, dewa penguasa arah mata angin, yakni : 1) urab warna putih timur dewa iswara, 2) jeruk warna dadu di tenggara dewa mahewara, 3) anyang warna merah selatan dewa brahma; 4) sadur, warna merah tua barat daya dewa rudra, 5) kacang-kacangan warna kuning, barat dewa mahadewa; 6) wilis, warna hijau barat laut dewa sangkara 7) jukut belimbing warna hitam, utara dewa wisnu; 8) cecokot, warna biru tua, timur laut, dewa sambu; 9) padamara, panca warna di tengah, dewa siwa.

Setelah hasil olahan siap, menjelang pelaksanaan megibung, olahan terlebih dahulu dipersembahkan kepada tuhan melalui kegiatan yang disebut dengan mesambeh-sambeh di sekeliling area tempat megibung. Selain mencerminkan kebersamaan, tradisi megibung juga mengajarkan masyarakat untuk disiplin. Oleh karenanya tradisi megibung bukan merupakan acara makan yang sembarangan, melainkan acara makan yang memiliki aturan ataupun tata cara yang harus dipatuhi.

Untuk menunjang tata cara megibung diperlukan petugas sebagai pengayah yang nantinya bekerja untuk mengatur berbagai perlengkapan dan pelayanan megibung.  Perlengkapan tersebut meliputi, (1) mempersiapkan bundaran tempat megibung dengan batasan jarak yang disesuaikan agar kelompok peserta atau yang dikenal dengan istilah “sela” tidak berhimpitan dengan kelompok peserta atau sela yang lain, (2) menata nasi di atas pegibungan yang beralaskan aledan. Aledan ini umumnya terbuat dari anyaman daun aren yang disesuaikan dengan ukuran pegibungan, tatanan nasi ini disertai sambal atau garam yang ditempatkan di masing-masing sudut pegibungan dan tatanan bermacam-macam lauk-pauk, sayuran yang telah ditempatkan secara khusus di samping pegibungan (3) menyiapkan air yang ditempatkan pada baskom besar untuk peserta mencuci tangan, (4) menyiapkan air minum untuk peserta yang ditempatkan di seputaran area megibung, dan (5) Nasi yang ditempatkan dalam baskom atau bakul besar atau dikenal dengan istilah “pemubung” sebagai tambahan nantinya

Setelah tahap persiapan selesai, selanjutnya peserta megibung diundang untuk tergabung dalam 1 kelompok yang dikenal dengan istilah sela, dengan jumlah 8 orang, duduk bersila untuk pria dan bersimpuh untuk wanita dengan posisi miring etika tangan kanan mengarah kegibungan dan yang lebih tua berada paling utara berdekatan dengan  karangan yang sekaligus merupakan bentuk penghormatan menjadi pemimpin “sela”. Pemimpin sela mengawali dengan kegiatan menaruh olahan dan kuah sebagai menu awal yang ditempatkan  di tengah gundukan nasi. Peserta gibungan memulai makan apabila sudah ada arahan atau komando untuk dipersilahkan makan oleh perwakilan pihak yang menjamu.

Adapun dalam pelaksanaan makan dengan cara megibung, penuangan lauk hanya boleh dilakukan oleh pemimpin “sela”. Selain ketentuan penuangan lauk- sayuran dan lauk-pauk peserta megibung juga diatur dalam berperilaku makan, yang diantaranya pada saat proses makan berlangsung, peserta dilarang untuk mengembalikan sisa makanan yang tidak cukup masuk kemulut ke dalam gibungan, berbicara dengan suara keras atau berteriak, berdahak, dan buang angin, serta bangun untuk melakukan aktivitas seenaknya yang dapat mengganggu kenikmatan menyantap makanan. Setelah prosesi makan selesai peserta megibung dilarang untuk mendahului meninggalkan tempat megibung. Peserta diperkenankan bangun untuk meninggalkan tempat megibung apabila sudah diperkenankan oleh perwakilan pihak keluarga yang menjamu.

Megibung memberi penekanan pada nilai-nilai yang mencakup nilai lain, religius, tercermin dari penataan olahan dan jumlah peserta menyimbulkan dewata penguasa arah mata angin, nilai sosial tercermin dari kebersamaan dan keberagaman yang menyatu untuk menikmati sajian yang disuguhkan, dan nilai budaya, tercermin dari tata aturan, etika dan kedisiplinan yang harus ditaati pada saat melaksanakan megibung.

Dokumentasi Foto