Salah satu tempat pemujaan untuk memuliakan kebesaran Ida SangHyang Widhi Wasa dan segala maniestasinya ada di bagian timur Pulau Bali tepatnya di Desa Adat Nangka, Desa Bhuwana Giri, Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem terdapat Pura kaHyangan jagat yang menjadi sthana linggih Ida Bhatara Gunung Agung. Pura Penataran Agung merupakan linggih Ida Bhtara Putran jaya yang tiada lain adalah linggih Ida Hyang Mahadewa di Gunung Tohlangkir yang sekarang disebut dengan Gunung Agung.
Sebagai salah satu kahyangan jagad kondisi Pura Penataran Agung linggih Ida Bhatara Gunung Agung jauh lebih sederhana bila dibandingkan dengan linggih Ida Bhatara Hyang Genijaya di Pura Lempuyang dan Ida Bhatara Hyang Dewi Danuh di Pura Batur yang merupakan Bhatara tiga yang mengayomi dan memberikan kesejahtraan kepada masyarakat Bali khususnya dan seluruh umat Hindu pada umumnya.
Menurut cerita dalam lontar dikisahkan bahwa pada zaman dahulu ketika pulau Bali dikenal dengan sebutan Bali Dwipa dan pulau Lombok disebut Selaparang Dwipa yang masih dalam keadaan kosong (duk tan hana paran-paran), keduanya masih tampak ngambang bagaikan perahu tanpa kemudi di atas lautan lepas, oleng tanpa arah. Ketika itu di pulau Bali ada empat buah Gunung sebagai Lingga yang disebut Catur Pralingga Giri yaitu: (1) Gunung Lempuyang di bagian timur, (2) Gunung Andakasa di bagian selatan, (3) Gunung Watukaru di bagian barat, dan (4) Gunung Mangu di bagian utara. Keadaan Bali Dwipa pada saat itu masih sangat labil. Kelabilan ini menyebabkan Bhatara Hyang Pasupati (sang Hyang Parameswara) menjadi sangat khawatir, kemudian Beliau memerintahkan kepada Sang Badawang Nala sebagai dasar Gunung, Sang Naga Anantha Boga dan Sang Naga Basukih sebagai tali pengikatnya, serta Sang Naga Tatsaka yang menerbangkannya, untuk memindahkan bagian puncak Gunung Mahameru ke Bali Dwipa Agar bumi Bali menjadi stabil.
Dalam perjalanan menerbangkan bagian dari puncak Gunung Mahameru, ada bagian-bagian yang jatuh (rempak atau rubuh) dan tercecer, sehingga jadilah Gunung Batur dan Gunung-Gunung atau bukit-bukit kecil lainnya di pulau Bali seperti: Gunung Tapshai, Pengelepangan, Silanjana, Bratan, PeGunungan, Naga Loka, Gunung Pulaki, Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Tratai Bang, Bukit Padang Dawa, Bukit Byaha, Bias Muntig, dan Gunung Sraya. Satu belahan Gunung yang merupakan puncak Gunung Mahameru di tempatkan di Bali pada hari Wrespati Kliwon Wuku Merakih, yakni hari pertama bulan ke sepuluh (sasih ke dasa) Tahun Caka 11, Gunung tersebut diberi nama Gunung Tohlangkir (Gunung Agung), dengan adanya penambahan dua buah Gunung lagi yang besar maka Bali saat itu dikenal dengan sebutan Sad Pralingga Giri yaitu: (1) Gunung Lempuyang, (2) Gunung Andakasa, (3) Gunung Watukaru, (4) Gunung Mangu, (5) Gunung Batur, dan (6) Gunung Tohlangkir (Gunung Agung). Setelah keadaan Bali Dwipa stabil, barulah Bhatara Hyang Pasupati ( Sang Hyang Parameswara) yang berstana di Gunung Semeru memerintahkan tiga putra Bliau untuk pergi ke Bali Dwipa menjadi junjungan (penyungsungan) rakyat Bali, yaitu: Hyang Geni Jaya, Hyang Putranjaya, dan Bhatari Dewi Danuh (Suarjana, 1992: 4). Dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul diuraikan sebagai berikut:
…Na wuwus SangHyang Parameswara ri tanayan ira para watek Dewata samudaya, muka mukya sira SangHyang Gnijaya Cakti, ling ira: “Aum ranak mami ri kita makabehan, adon sira turuna mareng banwa ing Bangsul, kumemit kang Bangsuri , maneher kita Dewata luminggeng haan rumaksa kang rat, wenang pinilih ikang Gunung maka stananta sowang-sowang, ginawe KHyangan, wuwus hana Gunung-Gunung saider ing banwa Bangsul, piniyoghaken mami ing dangu, mwantg ginawan mami sangke Jambhudwipa nguni, mami nenah aken maring Bangsul, SangHyang Mahameru pangaranya dak mami pungkah madyanya atut puncaknya, dak sun waweng bangsul, sapraptan irang Bangsul maha kweh pukahnya, arimbag abungkul Agung alit manuli tiba ring bhumi, saha ungguhannya matemahan geger-geger, mwang panGunungan, werdhi maring Bangsul, an mangkana anakku Dewata kita kabeh, hana ketemu denta Gunung Agung, tinengeran giri raja, maring Airsanya, ya ta Gunung mas puncak manik, adar ratna kopala winten, akrikil mirah, apasir podhi, ya tika, agran ira Hyang mahameru nguni, ingsun ginawa mareng Bangsul, sun para tiganen, kang sebagai dadi Gunung Batur, maka dapur candi Hyang Agni siring pratiwi tala, ikang sebagai isornya, sundadya akna Gunung Rinjani, ikang pucuk ira dadi Hyang Tohlangkir, ngaran Gunung sasor nikang Gunung Agung ika lwirnya, saka Purwa amilangi, kawruh akna pamgaranya, Gunung Tasahi, Kulonya Gunung Pangelengan, Kulonya Gunung Mangu, Kulonya Gunung Cilanjana, Kulonya Gunung Bratan, Kulonya Gunung, Kulonya Gunung Watukaru, Kulonya mwah mwah paGunungan Nagaloka, Kulonya mwah, nga, Gunung pulaki, Mangidul wetan sakeng rika hana Gunung Puncak Sangkur, bukit rangda, Trate bang, mangatanya mwah hana Padangdawa, mwah ikang pasisi Kidul, hana Gunung Andakasa, mwang Uluwatu, terus Mangatanya maring Ghneye desan ira hara Gunung Byaha, mwang Bias Muntig, ikang maring Purwa hana Gunung Lempuyang, Mangalora saka rika hana Gunung Sraya samangkana pasama dayaning acala sumimpa maring bangsul, ndan Makweh kari geger kang maring Madtya , tan ucapa akna. Ika ta wenang maka ungguhaning Dharma

Terjemahan:

…Demikian sabda SangHyang Parameswara kepada putranya para Dewa Sekalian, Terutama sekali SangHyang Gnijaya sakti, sabda Beliau: “ Wahai anakku sekalian, kamu ku suruh datang ke daerah Bali menjaga pulau Bali, lalu kamu menjadi Dewata selaku penguasa disana, boleh memilih Gunung sebagai tempat tinggalmu masing-masing, membuat KHyangan, sudah ada Gunung-Gunung diseluruh daerah Bali, SangHyang Mahameru namanya yang aku potong pertengahan termasuk puncaknya, yang aku bawa ke Bali, setibanya di Bali banyak bagian-bangiannya yang runtuh, pecahan-pecahan besar maupun kecil yang ditempatkan di daratan serta letaknya menjadi gundukan, dan peGunungan di Bali, demikianlah anakku engkau Dewata sekalian, kamu akan jumpai Gunung Agung, sebagai tandang Gunung besar, di sebelah timur laut, itulah sebagian menjadi Gunung Batur ; sebagai dapur candi Hyang Agni yang ada di bawahnya , sebagian dibawahnya aku jadikan Gunung Rinjani, sedangkan puncaknya menjadi Hyang Tohlangkir, bernama Gunung Agung, pecahannya menjadi peGunungan dan gundukan di bawah Gunung Agung itu, seperti. Dari Timur menghitungnya, akan diketahui namanya, yaitu Gunung Tashi, di Baratnya Gunung Pangelangan, di Baratnya Gunung Mangu, di Baratnya Silanjana, di Baratnya lagi Gunung Pulaki, ke Tanggara dari sana terdapat Gunung Puncaksangkur, Bukit Rangda, Trate bang, kesebelah Timur lagi ada Padangdawa, , sedang di pantai selatan ada Gunung Andakasa dan Uluwatu, terus ke Timur di sebelah tenggara ada Gunung Byaha dan Bias Muntig, di sebelah Timur ada Gunung Lempuyang, ke sebelah utara ada Gunung Sraya. Demikianlah semuanya yang mengelilingi pulau Bali, dan masih banyak gundukan yang tengah namun tidak disebutkan, itu semua boleh sebagai tempat tinggal memnbuat KHyangan para Dewata kamu sekalian”…(Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul dalam Soebandi, 1983: 8-10).

Selanjutnya Sang Hyang Pasupati kemBali mengutus empat putra Beliau untuk pergi ke Bali Dwipa dengan tujuan agar Bali Dwipa benar-benar stabil dan sempurna, diantaranya yaitu, Hyang Tumuwuh agar berstana di Gunung Watukaru, Hyang Manik Gumawang agar berstana di Gunung Mangu, Hyang Manik Galang agar berstana di Pejeng, dan Hyang Tugunatha agar berstana di Gunung Andakasa. Maka sejak itu pulau Bali dikenal memiliki tujuh buah pemujaan (penyungsungan) di puncak Gunung sebagai Lingga atau stana Para Dewa yang disebut sebagai Sapta Lingga Giri. Kemudian disusul oleh Para Dewa lainnya untuk berstana pada Gunung dan tepi laut, seperti: Dewa-dewa Loka Phala, Dewa Rsi, Tri Dewata, Panca Dewata, Sad Dewata, dan Dewa Nawasanga, antara lain: Hyang Brahma, Hyang Wisnu, Hyang Indra, Hyang Sambhu, Hyang Nara Kresna, Hyang Sumarma di Gunung atau Bukit Uluwatu, Hyang Bajramurti di Gunung Rinjani, Hyang Danawa di Gunung Mangu, begitu pula Bhagawan Karsika, Bhagawan Kurusya, Bhagawan Garga, Bhagawan Cakru, Bhagawan Maitri, dan Bhagawan Pretanjala, yang berjasa sehingga keadaan pulau Bali dan Lombok menjadi stabil (Catra, 1998: 3-8).
Keberadaan Pura Agung linggih Ida Bhatara Gunung Agung berawal dari zaman keemasan kerajaan Gelgel yang pada saat itu dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Kondisi pada saat itu kesusastraan sangat maju dengan pesat sehingga pelaksanaan upacara keAgamaan ditata kemBali dengan baik berkat datangnya dua ahli Agama Hindu yaitu Dang Hyang Nirarta dan Dang Hyang Astapaka. Pada saat itu banyak didirikan tempat suci Pura baik di pantai maupun di Gunung serta didesa dan termasuk Pura Penataran Agung linggih Ida Bhatara Gunung Agung yang terletak di sebelah tenggara Gunung Agung untuk memuja Hyang Putranjaya.
Ketika kerajaan Gelgel jatuh maka berdirilah kerajaan kerajaan baru yang dipinpin oleh keturunan para Arya. Salah satu kerajaan yang baru itu adalah Kerajaan Karangasem dengan raja yang bergelar Anglurah Ketut Karang. Pada masa ini mulai ditata kembali tempat tempat pemujaan termasuk salah satunya adalah Pura Penataran Agung di desa Nangka desa Bhuana Giri Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Selanjutnya Pura Penataran Agung di desa adat Nangka ini tetap jadi pemujaan bagi umat Hindu sebagai kahyangan jagat untuk memuja Ida Bhatara Putranjaya di Gunung Agung memohon kemakmuran, keamanan, kesentosaan serta kesejahtraan bagi umat manusia dan jagat semesta.
Pura Penataran Agung linggih Ida Bhatara Gunung Agung dibangun dengan luas kurang kebih satu hektar dan berada di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Pura ini dibangun dengan konsep tri mandala yakni utama mandala, madya mandala dan nista mandala. Pembangunan Pura ini sudah dilaksanakan secara bertahap.
Beberapa pelinggih utama sudah selesai dibangun di Pura Penataran ini dilengkapi dengan beberapa buah pelinggih dan tempat suci seperti Pelinggih Taksu, Pelinggih Menjangan Saluang, Pelinggih Pesaren Sari, Pelinggih Penglurah, Pelinggih Catur Loka Pala, Pelinggih Ratu Ayu, Pelinggih Bhatara Semeru, Pelinggih Bhatara Maha Dewa, Pelinggih Ida Bhatara Genijaya, Pelinggih Bhatara Sri, pelinggih Rambut Sedana dan pelinggih Hyang Mahamerta. Bangunan pelengkap lainnya adalah Bale Piyasan, Bale Pengaruman, Bale Panggungan, Bale Pewedaan, Bale Selonding, , Bale Pesandekan, Bale Pesimpenan , dan Bale Kulkul. Keseluruhan Pura dikelilingi tembok penyengker, gelung kori, apit lawang, candi bentar dan paduraksa. Pemugaran yang dilaksanakan di Pura Penataran Agung dibagi dengan beberapa tahap mengingat luasnya areal dan besarnya bangunan suci tersebut.
Piodalan di Pura Penataran Agung dilaksanakan berdasarkan hitungan pawukon yang dilaksanakan oleh Desa Pekraman Nangka sebagai pengempon Pura yang merupakan penyangga utama Pura baik itu upakara, upacara dan pemeliharaannya yang dilaksanakan secara rutin. Hal ini sesuai dengan titah yang diberikan oleh Ida Anglurah Made Karangasem kepada desa pekraman Nangka sebagai pengempon Pura Penataran Agung dalam waktu yang tidak terbatas. Selain sebagai kahyangan jagat Pura Penataran Agung Nangka juga dianggap sebagai Pura Pasar Agung karena penduduk disebalah timur Gunung Agung yang bermaksud memohon tirta ke Gunung Agung dapat dilakukan dengan ngayat dari Pura Penataran Agung linggih Ida Bhatara Gunung Agung.
Memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Giri Tohlangkir sebagai pelindung umat manusia. Pemujaan pada Sang Hyang Widhi untuk mengarahkan diri agar mendapatkan sinar pencerahan hidup (jyotir).
Sebagaimana dinyatakan dalam kutipan Brhad Aranyaka Upanisad 1.3,28 bahwa dengan sinar suci yang disebut jyotir itu kita akan melepaskan jiwa dari kegelapan yang disebut tamasa. Dari kehidupan yang jyotir atau jiwa yang cerah itulah kita bebas dari kematian rohani menuju kehidupan yang sejati yang disebut amrtam.
Dengan telah selesainya pelaksanaan pembangunan/rehabilitasi pelinggih kaHyangan di Pura Penataran Agung Linggih Ida Bhatara Gunung Agung termasuk pembangunan sarana prasarana lainnya. Walaupun secara totalitas belum sempurna namun bangunan pelinggih utama telah selesai sepenuhnya. Hal ini berkat partisipasi semua pihak baik para umat sedharma maupun pemerintah.
Sehubungan dengan hal tersebut dan berdasarkan Keputusan Paruman Desa Adat Nangka, maka disepakati dan ditetapkan untuk melaksanakan Karya Mamungkah, Melaspas, Ngenteg Linggih Mapedudusan Agung Menawaratna pada Tahun 2018. Pada dasarnya Karya Mamungkah adalah untuk memelihara dan menjaga secara spiritual kesucian Kahyangan sehingga tetap dapat dijadikan tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan semua manifestasi-Nya.