Ida Bagus Made Buruan

Tari, Sastra dan Pedalangan

PRAKERTYA RACANA TAHUN 2017

Profile Seniman

Disuatu desa  yang sejuk di daerah Kecamatan Bebandem tepatnya pada suatu Geria di Banjar Mumbul desa Jungutan, setelah perang kemerdekaan terlahir seorang seniman dikalangan brahmana tepatnya pada tanggal; 31 Desember 1948, yang diberi Nama Ida Bagus Made Buruan.

Beliau kesehariannya hidup dan diasuh dikalangan brahmana, sehingga kesempatan dan peluang waktu untuk

menggeluti sastra sastra agama, dan sastra budaya atas bimbingan orang tua dan lingkungannya sangatlah luas, sehingga kegiatan untuk menekuni seni sastra menjadikan suatu kebutuhan hidupnya.

Disamping belajar secara nonformal dan  otodidak khusus dibidang sastra, juga beliau sempat juga menikmati pendidikan Formal yaitu  Menamatkan Pendidikan di Sekolah Dasar (SD ) tahun 1955, SLTP dan sempat sekolah di Sekolah Pendidikan Guru ( SPG ) selama 1 tahun yaitu 1968-1969. Dimasa Grahastanya beliau menyunting  Ida Ayu Nyoman Oka Adika sebagai pendamping hidupnya.

Seiring dengan perkembangan bakat dan jiwa seni tarinya ketika di usia Sekolah Dasar Thn 1955 mulai  tumbuh pada beliau sehingga dengan tekadnya berguru pada  Seniman Ida Wayan Padang  dari Geria Tangi ( Tengah ) desa Budakeling yaitu belajar Tari Baris dan Tari Jauk, kisah belajar pada Sang Guru sebagai Maestro saat itu sungguh banyak mengalami suka dan duka, cibiran, cubitan teguran bahkan tamparan yang dirasakan dianggapnya segai motifasi dan spirit untuk mempercepat proses kemampuan menyerap pelajaran  yang diberikan oleh sang guru dengan sedikitpun tidak menumbuhkan rasa dendam sehingga dari 10 orang angakatannya belajar saat itu hanya 2 orang yang mendapat katagori lulus termasuk beliau ( Ida Nagus Made Buruan ) seni tarinya itu mulai ditekuninya  sejak tahun 1970 dan akhirnya berkembang ke tari Patopengan yang digelutinya sejak Tahun 1980 an, digelutinya tari Petopengan ini semata mata hanya untuk Topeng Pajeg / Panyidha Karyaan( Topeng Siddha Karya ), yang terkait dengan kepentingan pelaksanaan Upacara Yadnya khususnya dalam Upacara Dewa Yadnya Nubung Daging, Ngenteg Linggih dan lain lainnya ,Upacara Atma Wedhana / Ngaroras dan murni untuk Kepentingan Upacara Yadnya serta tidak untuk komersial dengan kata lain adalah untuk Nyama braya dan itupun masih digelutinya hingga usia senja sekarang ini.

Rupanya Jiwa dan bakat berkeseniannya tidak mandeg sampai diseni tari saja, mengingat keberadaannya di lingkungan Geria yang penuh dengan seni sastra Papaosan maka sejak tahun 1985 mulailah menekuni seni Sastra tersebut yang dibimbing oleh orang tua dan para tetua dilingkungannya, alhasil  atas kemampuannya dibidang seni sastra yang ditekuninya  maka pada tahun 1955 sampai tahun 2000 dipercaya sebagai Pembina Papaosan di Kecamatan dan  Pembina Utsawa Dharma Ghita Kecamatan Bebandem, dan dari hasil binaannya pernah mendapatkan juara. Seni Sastra yang digelutinya hanya sebatas pada mapasantian / mapapaosan dan belum pernah mengembangkan bakatnya  untuk menggubah atau mengarang  hingga kini beliau belum punya Hasil Karya Seni Sastra berupa Karangan atau Gubahan baik Kakawin ataupun Gaguritan dan lainnya, namun hinga kini beliau masih punya sekaa Pesantian yang dibinanya.

Disamping Seni Sastra untuk Mapapaosan, juga beliau sangat fasih dalam membaca Lontar Putru Saji yang berkaitan dengan pelaksanaan Upacara Yadnya Atma Wadhana / Ngeroras yang dibacanya di tempat Piadnyan berdampingan dengan Ida Padhanda yang Muput / Ngajengin Yadnya Pangerorasan.

Seiring dengan pendalamannya dalam sastra Maha Bharata yang sering dibaca maka sangat tertarik untuk mengembangkan dan mengimplementasikan seni sastra yang digelutinya dalam berntuk Seni Pedalangan, maka di tahun 1991 beliau mulai menggeluti dan belajar mendalang secara otodidak tanpa guru secara khusus khususnya dalam hal Dharma Pawayangannya namun dalam hal pendalaman Dharma Pedalangannya dipelajarinya berdasarkan sastra / lontar yang dimilikinya, adapun yang menjadi pendorong semangat yang menggebu gebu untuk mendalang adalah juga semata mata hanya  mendalang untuk melengkapi prosesi pelaksanaan Upacara Yadnya, yaitu Wayang Lemah atau Wayang Bedog atau Wayang Sudhamala,  mengingat saat itu jumlah dalang di Kabupaten Karangasem belum sesuai dengan rutinitas umat dalam beryadnya yang memerlukan Wayang sebagai pelengkap dan penyempurna Yadnya.  Dalam pegelarannya Nyudha Mala beliau sering membawakan cerita  Wana Prasta, bahkan sering juga secara spontanitas sesuai dengan situasi dan kondisi serta tenpat berlangsungnya Yadnya. Dalam berkesenian sebagai dalang maka sepatutnya seorang dalang mampu membuat  karya seni Pakem Pawayangan dan hal itupun telah dilakoninya.